Restorative Justice Di Indonesia
(Peluang dan Tantangan Penerapannya)
Oleh
Eva Achjani Zulfa
A. Latar Belakang Restorative Justice
Dibanyak negara di dunia, ketidakpuasan dan rasa frustasi terhadap hukum pidana formal telah memicu sejumlah pemikiran untuk melakukan upaya alternatif dalam menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana yang terjadi di negara tersebut. Permasalahan seputar perkembangan sistem peradilan pidana yang ada sekarang menunjukkan bahwa sistem ini dianggap tidak lagi dapat memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta transparansi terhadap kepentingan umum yang dijaga pun semakin tidak dirasakan.
Dalam setiap lima tahun sekali PBB menyelenggarakan kongres yang dikenal dengan nama ”Congress on Crime Prevention and The Treatment of Offenders”. Kongres ini bertujuan untuk membicarakan dan mendiskusikan tentang perkembangan kejahatan, penanggulangannya dan penanganan pelaku kejahatan serta berbagai topik terkait. Dalam kongres tersebut dibuka kesempatan bagi sejumlah negara untuk berbagai pengalaman atas sejumlah program yang dikembangkan termasuk juga berbagai permasalahan yang muncul dalam penyelenggaraannya. Dalam kesempatan ini, sejumlah negara juga mempergunakan kesempatan yang ada untuk mengadakan kerjasama dalam rangka upaya pencegahan dan penangulangan kejahatan terutama dalam kejahatan yang dilakukan secara lintas negara.
Pada kongres yang diselenggarakan di tahun 1990 dan 1995, beberapa lembaga swadaya masyarakat dari beberapa negara mensponsori sejumlah sessi pertemuan untuk secara khusus berdiskusi tentang restorative justice. Sejak itu berbagai minat dan program serta kebijakan dengan menggunakan pendekatan ini dilakukan diberbagai negara dan menjadi topik yang mengemuka. Pada Tahun 1995 itu pula, dalam sejumlah sessi pertemuan di kongres yang dilaksanakan di Kairo ini, dibicarakan secara tajam dan mendalam hal-hal yang teknis berkaitan dengan penggunaan pendekatan restorative justice dalam penanganan perkara pidana. Hingga pada kongres selanjutnya yang digelar pada tahun 2000 dihasilkan United Nation, Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters yang berisi sejumlah prinsip-prinsip mendasar dari penggunaan pendekatan restorative justice.
“Restorative Justice” merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.Terlepas dari kenyataan bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoretis, akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara.
Pendekatan restorative justice diasumsikan sebagai pergeseran paling mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB melalui Basic principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan restorative justice adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan pandangan G. P. Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik kriminil harus rasional (a rational total of the responses to crime). Pendekatan restorative justice merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini.
Restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Dipihak lain, restorative justice juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum.
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan restorative justice makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. Akan tetapi dalam pendekatan restorative justice, korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.
B. Penerapan Restorative Justice di Beberapa Negara

Praktek di banyak negara di dunia, trend yang berkembang menunjukan bahwa restorative justice ini hanya terbatas pada tindak pidana tertentu saja dan yang paling banyak diterapkan adalah pada kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja seperti di New Zealand, Inggris dan Wales, Philipina dan Canada. Pandangan ini dapat menjadi berbeda jika melihat kepada kasus di Afrika Selatan pasca aparheid. Pemerintah Afrika Selatan justru mempergunakan pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang pernah dilakukan oleh rezim Aparheid.
Restorative justice telah diterjemahkan dalam berbagai variasi rumusan dengan berbagai variasi nilai atau dasar filosofis, syarat, strategi,mekanisme, program, dan bahkan jenis maupun tindak pidana dan terhadap siapa saja pihak yang dapat terlibat didalamnya. Didalam beberapa regulasi bahkan mekanisme ini diterjemahkan secara rinci. Namun yang menarik dari berbagai regulasi tersebut adalah bahwa :
a. Terdapat beberapa negara yaitu Australia, Canada, Finlandia, Ghana, Bulgaria, atau Belgia, yang menerjemahkannya sebagai suatu konsep mediasi dimana dibuka peluang penyelesaian perkara pidana diluar sistem peradilan sementara, atau
b. Terdapat beberapa negara yaitu Inggris, Selandia Baru, atau Afrika Selatan, yang memasukkan konsep ini sebagai bagian dari sistem pemidanaan.
Dari kedua hal ini maka secara penulis menilai bahwa restorative justice, dalam pandangan pihak-pihak penyusun regulasi tersebut telah diterjemahkan sebagai mekanisme penanganan perkara pidana diluar sistem peradilan pidana maupun sebagai filosofis pemidanaan baru yang melahirkan bentuk-bentuk sanksi pidana yang sifatnya berbeda dari jenis pidana konvensional yang dikenal selama ini.
Gambaran diatas adalah sedikit contoh dari banyak negara lain yang mencoba menerapkan paradigm restorative justice dalam penanganan perkara pidana. Menarik melihat perkembangan penerapan pendekatan restorative justice yang marak akhir-akhir ini karena muncul anggapan paradigma ini membawa banyak keuntungan perubahan yang positif terhadap masyarakat dan negara. Sejumlah keuntungan yang dapat dicatat disini adalah
(a) Bahwa masyarakat telah diberikan ruang untuk menangani sendiri permasalahan hukumnya yang dirasakan lebih adil. Dalam hal ini asas sederhana, terang dan tunai yang lebih banyak dikenal dan dipergunakan dalam hukum adat dalam penanganan perkara-perkara keperdataan dapat juga diterapkan dalam hukum pidana. Apalagi karena pada dasarnya hukum adat Indonesia memang tidak mengenal perbedaan pidana dan perdata.
(b) Beban Negara dalam beberapa hal menjadi berkurang misalnya:
1) Beban untuk mengurusi tindak pidana-tindak pidana yang masih dapat diselesaikan secara mandiri oleh masyarakat. Aparat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dapat lebih memfokuskan diri untuk memberantas tindak pidana-tindak pidana yang kualifikasinya lebih berbahaya seperti narkotika, terorisme, perdagangan manusia atau pelanggaran HAM berat.
2) Secara administratif, jumlah perkara yang masuk kedalam sistem peradilan dapat dikurangi sehingga beban institusi pengadilan sebagaimana diungkapkan diatas menjadi berkurang.
(c) Beban untuk menyediakan anggaran penyelenggaraan sistem peradilan pidana utamanya dalam hal penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan dimana fokus penyelesaian perkara pidana kebanyakan berakhir pada penjatuhan pidana kurungan atau penjara menjadikan munculnya banyak permasalahan didalam lembaga pemasyarakatan ini. Dapat diharapkan lahirnya bentuk sanksi-sanksi baru yang lebih baik dan berdayaguna (sebagaimana yang tengah dikembangkan dalam rancangan KUHP Indonesia saat ini).
Catatan atas keuntungan ini barangkali hanya merupakan catatan keuntungan yang perlu dipertimbangkan terhadap keberlakuan pendekatan restorative justice dalam hukum pidana dan melembagakannya.


C. Restorative Justice : Nilai Universal
Banyak penulis menganggap restorative justice bukanlah konsep yang baru. Keberadaannya barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri. Bahkan beribu tahun, upaya penanganan perkara pidana, pendekatan justru ditempatkan sebagai mekanisme utama bagi penanganan tindak pidana. Marc Levin menyatakan bahwa pendekatan yang dulu dinyatakan kebagai usang, kuno dan tradisional kini justru dinyatakan sebagai pendekatan yang progresif. . Hooker menjadi menggambarkan unsur-unsur universal yang menjadi dasar hukum adat serta sistemnya sebagai berikut:
(a) The distribution of obligation is often a function of an actual or putative genealogical relationship;
(b) The community, wether defined on a genealogical or a territorial basis, almost always has a greater right over land distribution than the individual possesor or occupies.
(c) The institution of tolong menolong and gotong-royong exemplify the individual’s subjection to a common set the obligations;
(d) ...all the adats posit the preservation of harmony between the community and nature.
Konsep hukum adat Indonesia sebagai wadah dari institusi peradilan adat juga memiliki konsep yang dapat digambarkan sebagai akar dari restorative justice. Di Indonesia, karakteristik dari hukum adat di tiap daerah pada umumnya amat mendukung penerapan restorative justice. Berkaitan dengan pelanggaran adat atau delik adat, dan mekanisme pemecahnya, hukum adat memiliki pandangan tersendiri. Sebagaimana dikemukakan diatas, maka pengertian pelanggaran adat terkait dengan kondisi ketidak seimbangan kosmos dalam masyarakat. Hal ini mencakup tindakan-tindakan yang mengganggu kedamaian hidup atau pelanggaran terhadap kepatutan dalam masyarakat. Disini pelanggaran hukum adat merupakan:
(a) Suatu peristiwa aksi dari para pihak dalam masyarakat;
(b) Aksi itu menimbulkan gangguan keseimbangan;
(c) Gangguan keseimbangan ini menimbulkan reaksi;
(d) Reaksi yang timbul menjadikan terpeliharanya kembali atas gangguan keseimbangan kepada keadaan semula.

Konsep ini sangat berbeda dengan pengertian tindak pidana atau delik dalam arti hukum pidana. Berdasarkan definisi tersebut maka sifat-sifat pelanggaran hukum adat dapat dikemukakan sebagai berikut:
(a) Menyeluruh dan menyatu
Sifat menyeluruh dan menyatu ini disebabkan oleh latar belakang yang menjiwai hukum adat, yaitu bersifat kosmis, di mana yang satu dianggap bertautan atau dipertautkan dengan yang lain. Akibatnya yang satu tak dapat dipisahkan dari yang lainnya. Demikian juga dalam lapangan hukum. Tidak ada pemisahan antara pelanggaran pidana dan perdata, pelanggaran agama atau kesusilaan, demikian juga peradilannya. Kesemuanya itu dilaksanakan dalam konteks perkara yang mempunyai kesatuan sudut pandangan dari sisi agama, kesusilaan, pidana dan perdata.

(b) Terbuka
Ketentuan pelanggaran adat bermaksud mempertahankan rasa keadilan menurut kesadaran masyarakat sesuai dengan waktu, tempat, dan keadaan (”desa”), ”kala”, dan ”patra” masyarakat Bali). Tradisi menurut hukum adat yang berlaku memang merupakan upaya penyelesaian dalam kasus pelanggaran adat, tetapi dalam cara penyelesaiannya senantiasa bersifat terbuka. Berkembangnya masyarakat, maka akan berkembang pula ketentuan-ketentuan penyelesaian dalam hukum adat karena dasarnya adalah musyawarah secara bulat dan mufakat.

(c) Membeda-bedakan masalah
Penyelesaian pelanggaran adat melihat permasalah tidak hanya semata-mata dari perbuatan dan akibatnya, tetapi juga apa yang menjadi latar belakang serta siapa pelakunya. Akibat cara pandang yang demikian itu, maka penyelesaian dan tindakan hukum atas suatu tindak pidana akan berbeda-beda.

(d) Peradilan atas permintaan
Pelaksanaan pemeriksaan perkara dalam hukum pelanggaran adat didasarkan atas ada/tidaknya permintaan dan pengaduan seseorang yang merasa dirugikan/diperlakukan tidak adil.

(e) Tindakan reaksi atau koreksi
Petugas hukum terhadap terjadinya reaksinya reaksi adat dapat mengambil langkah penyelesaian atas perbuatan pidana tidak hanya terhadap pelaku semata-mata, tetapi tuntutan pertanggungjawaban dapat dibebankan kepada anggota keluarga di pelaku lainnya, kepada masyarakat hukum yang bersangkutan, tetapi juga pengembalian keseimbangan dengan mengadakan upacara selamatan adat dan lain-lain.
Dalam pandangan adat, tidak ada ketentuan yang keberlakuannya disertai dengan syarat yang menjamin ketaatannya dengan jalan menggunakan paksaan. Sanksi adat tidak sama pengertiannya dengan pemidanaan sebagaimana yang dijabarkan dalam teori-teori pemidanaan klasik karena tujuannya berbeda. Suatu penerapan sanksi adat adalah suatu upaya, untuk mengembalikan langkah yang berada diluar garis kosmos demi tidak terganggunya ketertiban kosmos. Jadi sanksi adat merupakan usaha mengembalikan keseimbangan yang terganggu. Karenanya pada masa lalu aktifitas peradilan termasuk sistem peradilan pidana tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan keagamaan, budaya dan aktifitas pemerintahan, perekonomian dan kehidupan lainnya.
Dalam berbagai literatur antara lain dalam Kutara Manawa yang dinyatakan sebagai kitab hukum pidana yang diterapkan masa pemerintahan Majapahit, Qonun Mangkuta Alam yang dibuat semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda merupakan cerminan dari keberlakuan hukum adat yang hingga kini masih menjadi rujukan dari keberlakuan hukum adat dibeberapa daerah di Indonesia. Dalam bagian X dari ”Pandecten van het adatrecht (1936)” dijelaskan bahwa sanksi adat dapat berupa:
(a) Pengganti kerugian immaterieel dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan;
(b) Pembayaran ”uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani;
(c) Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;
(d) Penutup malu, permintaan maaf;
(e) Pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati;
(f) Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum (dalam hal ini orang yang dikenai sanksi diberikat pembatasan haknya sebagai anggota masyarakat adat).

Dalam hal ini unsur utama dari restorative justice yaitu kerelaan dan partisipasi dari korban, pelaku dan masyarakat dalam melakukan perbaikan atas tindak pidana yang terjadi juga merupakan ciri dari hukum adat. Dalam Kutara Manawa dari Bab Astacorah pasal 55-56, disebutkan bentuk pemidanaan pelaku pencurian sebagai berikut:
Jika pencuri tertangkap dalam pencurian, dikenakan pidana mati, anak istrinya, miliknya dan tanahnya diambil alih oleh raja yang berkuasa. Jika pencuri memiliki hamba laki-laki dan perempuan, hamba tersebut tidak diambil alih oleh raja yang berkuasa, tetapi dibebaskan dari segala hutangnya kepada pencuri yang bersangkutan.

Jika pencuri mengajukan permohonan hidup, maka ia harus menebus pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa kepada raja yang berkuasa, membayar kerugian kepada orang yang terkena curi dengan cara mengembalikan segala milik yang diambilnya dua kali lipat.

Dalam hal ini Kutara Manawa telah menerapkan suatu ketetapan dimana kepentingan korban ikut diperhatikan dalam suatu putusan pemidanaan, berupa pengembalian kerugian.
Dalam Kitab Simbur Cahaya dan Kuntara Radjaniti atau Cephalo 12 dan Cephalo 80 di Lampung sebagai contoh disebutkan bahwa mekanisme penyelesaian dapat dilakukan melalui mediasi:
(a) Penyelesaian antara pribadi, keluarga atau lingkungan;
(b) Penyelesaian dengan mediator kepala kerabat/kepala adat;
(c) Penyelesaian oleh kepala adat.

Di negara lain beberapa contoh mengemuka dan banyak diungkapkan oleh penulis restorative justice berasal dari aturan hukum purba yang mencantumkan hal tersebut antara lain:
(a) Kitab Hammurabi (1700 S.M) mendekripsikan adanya gantirugi sebagai satu jenis sanksi atas tindak pidana terhadap harta benda;
(b) Kitab Ur-Nammi Sumeria (2060 S.M), mencantumkan gantirugi sebagai satu jenis sanksi bagi semua tindak pidana;
(c) Hukum ”Twelve Table” Romawi (496 M), mengatur mengenai pembayaran dengan jumlah dua kali harga barang bagi pelaku perkara pencurian.
Tiga contoh diatas merupakan sedikit gambaran tentang adanya konsep pemidanaan pada masa lalu yang sering dipakai untuk menggambarkan adanya semangat restorative justice.



D. Prospeknya di Indonesia

1. Lembaga Musyawarah

Kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia mengenai fungsionalisasi lembaga musyawarah sebagai bagian dari mekanisme yang dipilih untuk menyelesaian perkara pidana. Musyawarah baik yang diselenggarakan oleh pelaku dan korban sendiri, atau dengan melibatkan institusi kepolisian atau kejaksaan, atau dengan melalui lembaga adat memperlihatkan pola pikir masyarakat dalam melihat suatu permasalahan yang muncul. Penyelesaian masalah termasuk didalamnya adalah tindak pidana melalui musyawarah merupakan pola pikir yang terangkum dalam keadilan restorative sebagaimana didefiniskan diatas. Karenanya tanpa mengabaikan mekanisme yang bekerja dalam sistem hukum formal, mekanisme penyelesaian melalui lembaga musyawarah pun bekerja dalam masyarakat. Dalam berbagai asas dan model pendekatan restorative justice, proses dialog antara pelaku dan korban merupakan moral dasar dan bagian terpenting dari penerapan keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya, mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan keinginan-keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui proses dialog juga pelaku diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari kesalahannya dan menerima tanggungjawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau pelaksanaannya.
Oleh banyak penulis kajian tentang restoratif, lembaga musyawarah ini dikenal sebagai mediasi yang sangat melembaga dalam sistem peradilan perdata. Dalam konsep mediasi proses dialog dikenal sebagai media komunikasi yang menjadi modal utama penyelenggaraan lembaga mediasi. Keseluruhan proses itulah yang dapat ditemui baik dalam model penyelenggaraan restorative justice seperti
(a) Victim Offender Mediation (VOM : Mediasi antara pelaku dan korban) yaitu suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai coordinator dan fasilitator dalam pertemuan tersebut.
(b) Conferencing yaitu suatu forum yang sama dengan VOM, namun dalam bentuk ini terdapat perbedaan yaitu pelibatan penyelesaian bukan hanya melibatkan pelaku dan korban langsung (primary victim), tetapi juga korban tidak langsung (secondary victim), seperti keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku. Adapun alasan pelibatan para pihak tersebut adalah karena mereka mungkin terkena dampak baik langsung ataupun tidak langsung atas tindak pidana yang terjadi atau mereka memiliki keperdulian yang tinggi dan kepentingan akan hasil dari musyawarah serta mereka juga dapat berpartisipasi dalam mengupayakan keberhasilan proses dan tujuan akhirnya.
(c) Circles, suatu model penerapan restorative justice yang pelibatannya paling luas dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum yang bukan hanya korban, pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga anggota masyarakat yang merasa berkepentingan dengan perkara tersebut.
Ketiga model dasar dari bentuk penerapan pendekatan restoratif justice tersebut pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk yang menjadi variasi dari model dialog yang merupakan pelaksanaan dari bentuk musyawarah dan mufakat. Dari nilai dasar inilah restorative justice sebagai implementasi dari niali dasar yang ada dalam masyarakat Indonesia memiliki fondasi nilai yang kuat. Sayangnya penyelesaian model ini belum memiliki justifikasi perundang-undangan yang jelas.
2. Peran Lembaga Penegak Hukum
Kendala tersebut dalam kenyataannya telah diupayakan untuk diterobos oleh para penegak hokum dilapangan. Polisi melalui diskresi yang dimilikinya, Jaksa melalui opportunitas-nya serta hakim melalui kebebasannya. Beberapa gambaran dari temuan dilapangan misalnya:
a) Tim peneliti Balitbang HAM Departemen Hukum dan HAM RI pada tahun 2006 menemukan bahwa dalam kebanyakan kasus kekerasan dalam rumah tangga justru polisi bertindak sebagai mediator. Hal ini disebabkan suami atau istri korban justru memohon kepada penyidik agar perkaranya tidak dilanjutkan ke proses selanjutnya karena ingin mempertahankan rumah tangganya.
b) Penyelesaian perkara kejahatan yang terkait dengan harta kekayaan. Bagi korban yang terpenting adalah pengembalian barang atau pembayaran kerugian yang timbul pada mereka, bukan pada masalah pemidanaannya.
c) Pada tanggal 19 Maret 2007, terjadi kecelakaan lalu lintas di daerah Jakarta Pusat oleh seorang sopir angkutan umum yang menewaskan 2 (dua) orang korban. Seminggu kemudian perkara ini diselesaikan dengan cara damai di mana pelaku menyantuni keluarga korban dengan sejumlah uang sebagai modal dagang bagi istri korban. Alasan polisi melakukan ini semata-mata melihat bahwa tindak pidana ini merupakan kelalaian yang ancaman pidananya di bawah 5 (lima) tahun dan kondisi ekonomi baik pelaku maupun korban yang tidak menguntungkan. Atas pertimbangan bahwa penyelesaian melalui proses peradilan pidana akan lebih menyengsarakan kedua belah pihak dan dengan pertimbangan bahwa keluarga korban pun telah memaafkan pelaku, maka upaya damai tersebut ditempuh.
d) Dalam hal pelanggaran lalu lintas misalnya, kurang lebih 2 ribu lembar perbulan dikeluarkan surat tilang atas pelanggaran lalu lintas di jalan raya oleh Polda Metro Jaya. Dari 1076 perkara lalulintas yang masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2004 dan 3.904 Di tahun 2006, seluruhnya dipidana denda. Demikian pula di Pengadilan Negeri Bitung di mana 13.265 perkara pelanggaran lalulintas yang masuk semuanya diputus dengan pidana denda. Oleh karena itu terlihat bahwa masyarakat memperhitungkan pengeluaran atau biaya yang akan dikeluarkan dalam penyelesaian suatu perkara yang dihadapi. Dibandingkan menghadapi birokrasi yang panjang dan hasilnya akan sama saja, maka penyelesaian langsung melalui polisi menjadi pilihan utama.
Meskipun dalam hal ini penulis dapat menyatakan bahwa praktek-praktek tersebut merupakan bagian dari nilai-nilai yang terkandung dalam keadilan restoratif, namun hal tersebut diatas adalah kenyataan yang perlu dicarikan mekanime hukum sebagai landasannya.
Beranjak dari pemikiran tentang keunggulan dan kelemahan dari penyelesaian perkara pidana diluar system yang tidak diakui oleh hokum formal yang berlaku, restorative justice telah menjadi suatu kebutuhan daam masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang berbeda dengan sistem formal yang ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda (dalam hal ini penulis tidak melihat apakah dampak yang dimaksud merupakan dampak positif atau pun negatif). Meskipun dalam beberapa hal tersebut diatas, keberadaan lembaga ini dalam masyarakat masih tetap menjadi pilihan karena tujuan akhir yang tidak dapat diperoleh bila suatu perkara diselesaikan melalui sistem peradilan pidana, seperti
a. memberikan suatu keuntungan yang langsung dirasakan baik korban, pelaku maupun masyarakat umum.
Bentuk-bentuk gantirugi yang nyata dalam bentuk pengembalian barang yang dicuri, perbaikan kendaraan hingga pemberian uang duka dalam hal korban meninggal dunia, menjadi realita.
b. Mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan restorative justice memberikan peran masyarakat yang lebih luas.
Dalam mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan restorative justice, maka posisi masyarakat bukan hanya sebagai peserta laku atau peserta korban saja. Masyarakat dapat diberikan peran yang lebih luas untuk menjadi pemantau atas pelaksanaan suatu hasil kesepakatan sebagai bagian dari penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan ini. Pelaksanaan kegiatan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya memantau upaya rehabilitasi korban sebagaimana contoh yang ada diberbagai negara. Memantau pelaksanaan pertanggungjawaban pelaku, yang dapat berwujud barbagai bentuk seperti perbaikan sarana yang rusak, pengembalian barang, pemenuhan denda adat dan lain sebagainya.
a. Proses penanganan perkara dengan pendekatan restoratif justice dapat dilakukan secara cepat dan tepat.
Karena tidak melalui prosedur birokrasi yang berbelit-belit maka proses penyelesaian perkara pidana terutama yang diselesaikan diluar lembaga pengadilan baik didalam sistem peradilan pidana maupun penyelesaian oleh masyarakat sendiri atau bahkan oleh lembaga adat dapat dilakukan dengan singkat.
Suatu model penyederhanaan sistem penyelesaian suatu perkara pidana tertentu. Dalam Hukum acara pidana di Indonesia memang dikenal beberapa model mekanisme penyelesaian perkara pidana melalui peradilan biasa atau peradilan singkat. Namun terlihat bahwa mekanisme itu belum menjawab kebutuhan masyarakat sebagaimana dalam paparan diatas.
Berangkat dari evaluasi atas penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan prinsip yang ada dalam restorative justice sebagai ukuran dalam menilai kasus-kasus tersebut, sedikit banyak nilai-nilai utama yang menjadi pilar dalam penyelesaian perkara pidana telah diterapkan meskipun dengan sejumlah kelemahan yang timbul atas pemahaman suatu pendekatan restorative justice yang belum menyeluruh seperti pelibatan pelaku dan korban, asas pra duga tak bersalah, persamaan dalam pencapaian proses penyelesaian dan upaya pencapaian penyelesaian yang mengacu kepada tujuan dari restorative justice yaitu mengacu kepada kebutuhan pelaku, korban dan masyarakat dalam memperbaiki relasi sosial antara mereka.
Dalam melihat kemungkinan penerapan keadian restoratif, penulis melihat bahwa Basic PrincipleThe Use Of Restoratif Justice mengamanatkan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan dalam bingkai sistem hukum suatu negara. Hal ini menandakan bahwa bila di Indonesia pendekatan ini akan dipakai sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian perkara pidana, maka sistem peradilan pidana yang ada harus disesuaikan hingga bisa menjangkau dan mewadahi mekanisme penyelesaan perkara pidana melalui pendekatan ini.

Daftar Pustaka
1.Braitwaite, John., Crime Shame and Reintegration, Op Cit.
2.Fitriasih, Surastini et all., Akses ke Peradilan, (Jakarta : Sentra Ham-KHN,2002).
3.Galaway, Burt and Joe Hudson, Criminal Justice, Restitution and Reconciliation. Monsey, NY: Criminal Justice Press., 1990
4.Koesriani Siswosoebroto,Pendekatan Baru dalam Kriminologi, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009.
5.Levin, Marc., Restorative justice in Texas : Past, Present and Future, (Texas: Texas Public Policy Foundation,2005) hlm. 5-7 ditelusur melalui www.TexasPolicy.com pada tanggal 3 Februari 2008
6.Llewellyn, Jennifer J. and Robert Howse, Institutions For Restorative Justice: The South African Truth And Reconciliation Commission, (Toronto: University of Toronto Law Journal,Summer, 1999), South African Law Commission, Sentencing Restoratif Justice, (Pretoria: Cloosing date for Comments, 30 Juni 1997) ditelusur melalui http://wwwserver.law.wits.ac.za/salc/issue/ip7.html ditelusur pada tanggal 13 Juni 2005.
7.Mulyana, Slamet., Nagarakretagama Dan tafsir Sejarahnya, Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1979
8.Satriyo, Rudy et al, Pelaksanaan Advokasi Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Balitbang HAM – Departemen Hukum dan HAM RI, 2006
9.Umbreit, Mark., "Avoiding the Marginalization and 'McDonaldization' of Victim-Offender mediation: A Case Study in Moving Toward the Mainstream" in Restorative Juvenile Justice Repairing the Harm of Youth Crime, edited by Gordon Bazemore and Lode Walgrave. Monsey, NY: Criminal Justice Press. 1999
10.Van Ness.,Daniel Allison Morris dan Gabriel Maxwell, Introducting Restorative Justice dalam , Allison Morris dan Gabrielle Maxwell (editor), Restorative Justice for Juveniles: Conferencing, Mediation and Circles,(Oxford: Hart Publishing,2001)
11.Wiranata, I.Gede A.B. Hukum Adat Indonesia Perkembangan Dari Masa Ke Masa, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,2005
12.Zehr, Howard., Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice. Scottdale, Pennsylvania; Waterloo, Ontario: Herald Press, 1990.
13.Surastini Fitriasih et all, Akses ke Peradilan, Jakarta : Sentra Ham-KHN,2002
14.Crimes (Restorative Justice) Act 2004 Canberra, Australia
15.Youth Criminal Justice Act -2002, Canada
16.Act on Mediation in Criminal and Certain Civil Cases, Finland
17.Children's Act, 1998. (Act 950). Ghana.
18.Law on Mediation. Prom. SG. 110/17 Dec 2004. National Assembly of Bulgaria
19.Law of 22 June 2005 on mediation. Government of Belgium
20.Youth Justice and Criminal Evidence Act, 1999, UK Parliament
21.Corrections Act 2004. Parliament of New Zealand
22.Probation Servcies Amendment Act, 2002. Republic of South Africa.
Memuat